“Om, Tita nggak dapet ranking lho, Dinda ranking lima.” Ujar Dinda cerah ceria.
Saya mengangkat kepala, ayah. Laki-laki itu diam saja, hanya senyuman yang menghiasi wajahnya, namun saya tidak mampu membaca matanya.
“Oh, iya, Tita memang bodoh sih!” Ujarnya tiba-tiba.
Masih segar dalam ingatan saya tentang hal itu, tentang peristiwa itu. 15 tahun berlalu, saya tidak pernah lupa, saya selalu ingat semuanya, tiap detail dalam peristiwa itu. Luka, sakit hati, merasa diremehkan. Tapi ucapan, benar adalah sebuah doa.
Saya tidak tau, siapa yang harus saya salahkan karena ini semua.
Sementara kegagalan selalu menghampiri, ketimpangan selalu menanti, ketidakadilan selalu membayangi, dan hanya air matalah yang selalu menemani. Saya tidak ingin menyalahkan siapa pun, apa pun, kecuali naluri pribadi.
“Tita dapet ranking berapa?” Tanya Dinda pada saya.
Saya hanya diam terpaku, menatap Dinda yang diam menunggu jawaban saya, sambil memegang rapor birunya, seragam merah putihnya tampak sudah kekecilan, namun masih dipaksakan untuk membalut tubuhnya.
“Hmmmm… aku nggak dapet peringkat.” Ujar saya pelan.
Saya menunduk dalam, sambil menngenggam rapor biru saya. Rasanya saat itu, ingin sekali saya menangis. Saya ini pintar, saya tau itu, tapi ada apa dengan Sekolah Dasar ini?
“Om, Tita nggak dapet ranking lho, Dinda ranking lima.” Ujar Dinda cerah ceria.
Saya mengangkat kepala, ayah. Laki-laki itu diam saja, hanya senyuman yang menghiasi wajahnya, namun saya tidak mampu membaca matanya.
“Oh, iya, Tita memang bodoh sih!” Ujarnya tiba-tiba.
Saya terperangah, untuk beberapa detik saya merasa ribuan belati menikam perih ulu hati saya. Ayah saya sendiri mengatakan saya bodoh?! Bahkan didepan Dinda teman baik saya sendiri.
Saya tersenyum simpul, menyembunyikan luka dan hati saya yang terlanjur berdarah-darah.
“Ayo, Dinda, kami pulang dulu ya!” Ujar Ayah saya ramah.
Dinda mengangguk, lalu berlari masuk kedalam gedung Sekolah Dasar itu. Ayah saya dengan sabar dan telaten menggandeng saya, membawa saya masuk ke dalam mobil.
Hari lepas hari berjalan seperti biasa, banyak hal yang berlalu dan pergi, kecuali kata “bodoh” yang akan saya kenang sampai saya mati! Saya adalah anak yang bodoh, titik!
Pada tiap akhir tahun pelajaranm saat rapor dibagikan, dan tidak pernah ada yang istimewa disana, kecuali nilai-nilai standar, dan saya masih bertahan mengingat detail kalimat yang Ayah ucapkan pada Dinda siang itu. Bahkan pada tahun-tahun berikutnya, saat tanpa terasa waktu telah membawa saya melewati masa-masa itu, dan saya masih akan selalu mengingatnya. Kalimat itu seolah enggan berlari dari kepala saya, walau ribuan kali saya menghalaunya untuk tidak membayangi hari-hari saya.
Saya tidak mampu menghapusnya, dari ingatan saya, bahkan dari hati saya. Dan kalimat itu seolah menghalangi usaha keras saya “sudahlah tidak perlu dipaksa, kamu itu bodoh!” selalu kalimat seperti itu yang membayangi usaha saya, hingga saya enggan untuk melalukan yang terbaik, yang lebih baik lagi untuk hidup saya. Hanya karena kalimat satu itu, tita memang bodoh sih. Saya bodoh, saya bodoh, SAYA BODOH.
Oh Tuhan, apa yang harus saya lakukan untuk menghapus kalimat keparat itu? Kenapa harus Ayah saya sendiri? sosok yang sejak saya kecil selalu saya idolakan.
Sekuat apa pun saya mencoba melawan, sekuat apa pun saya berusaha, kalimat itu selalu menghantui saya. Menghalau usaha saya. Mencoba memusnahkan harapan-harapan saya. Merusak system kerja otak saya.
Saya tidak benci ayah, saya menyayanginya sepenuh hati saya, sama seperti ayah menyayangi saya dengan tulus. Saya bersyukur, ayah tidak menuntut saya macam-macam, tapi tetap saja saya melihat harapan besar dimatanya, yang selalu membuat saya ciut, sanggupkah saya mewujudkan harapan itu?
Tuhan, sungguh saya tidak tau cara apa lagi yang harus saya tempuh untuk menghapus kalimat itu?
Saya lelah, tertatih untuk memperbaiki keadaan. Saya lelah menghalau kalimat itu untuk tidak membayangi saya lagi.
Haruskah saya membuang seluruh isi otak saya?
Haruskan saya membuang hati saya?
Atau haruskah saya memotong telinga saya?
Dan sungguh Tuhan, saya tidak ingin menyalahkan siapa pun, tidak Ayah, tidak juga Dinda.
Saya yakin, kalimat itu sengaja Ayah tuturkan untuk menyenangkan hati Dinda, yang sejak dulu selalu ingin bersaing dengan saya. Meskipun saya tidak tau, apa yang bergolak dihati Ayah, sehingga kalimat itu yang terlontar dari bibir beliau.
Seandainya Ayah menyadari, kalimat itu tidak masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri seperti biasa, kalimat itu langsung mampir ke hati saya dan menahun tinggal disana, membayangi setiap langkah yang akan saya tempuh, membebani setiap perbuatan yang akan saya pilih, tanpa bersedia enyah dari hati saya, BODOH!
Ayah, dengan sisa hati dan harapan yang saya miliki, saya memohon, seandainya mampu, tolong hapuskan kalimat itu untuk saya.
Tuhan, saya mengasihi Ayah saya, walau pun apa pun yang beliau katakan untuk saya. Walau pun kalimat apa pun yang beliau tuturkan untuk saya. Walau seperti apa pun doa yang beliau panjatkan untuk saya.
Seandainya mampu, tolong hapuskan kalimat itu, untuk saya. Untuk saya yang bodoh ini.